Ho Chi Minh City
Ho Chi Minh City, the motorcycle republic who only good for transit (and for business, maybe)
Jalan yang penuh dengan motor dan bunyi klakson yang tiada henti, adalah dua hal yang paling dominan tentang Ho Chi Minh City, sebuah kota yang dulu bernama Saigon. Sampai saat ini nama Saigon masih banyak digunakan untuk menyebut kota terbesar di Vietnam ini, terutama untuk merujuk pada daerah pusat kotanya yaitu di district 1.
District 1 adalah tempat yang dulu bernama Saigon itu, yang setelah bergabung dengan beberapa daerah di sekitarnya maka berganti nama menjadi Ho Chi Minh City. Lebih jelas tentang sejarahnya mungkin dapat dibaca saja di Wikipedia, yang jelas, hal ini menjelaskan mengapa District 1 menjadi pusat kota HCMC, serta menjadi tempat berkumpulnya objek-objek wisata kota Ho Chi Minh City.
Kalau sudah tinggal di District 1, mau ke mana-mana saja dekat. Pusat bisnisnya di sana, pusat wisata juga di sana. Katedral Notre Dame peninggalan Perancis, kantor pos tua (yang mirip Stasiun kereta Beos), Opera House yang bergaya Perancis (tiang depannya yang melengkung dari jauh mirip Arch de Triomph), Reunification Palace, War Remnants Museum, dan Ben Thanh Market. Semuanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari pusat kota.
Di district 1 ini ada sebuah backpacker area yang sangat terkenal yaitu jalan Pham Ngu Lao. Meski Anda bukan backpacker, rasanya saya akan tetap menyarankan untuk mencari penginapan di sini saja. Karena daerahnya enak, khas backpacker area, selalu hidup 24 jam, full music, full bar, banyak tourist dari berbagai negara, daerah yang selalu ramai, dan yang penting, harga penginapannya sangat terjangkau. Cobalah menyusuri gang-gang di jalan itu, dengan mudahnya dapat ditemukan tulisan Room for Rent. Dengan harga 5 US Dollar (kipas angin) dan 10 US Dollar (AC) per malam.
Saya dapat kamar yang 10 USD, lumayan lho kamarnya, bisa bertiga pula. Pada malam pertama tiba di Ho Chi Minh City, demi kenyamanan dan keamanan kami telah memesan satu kamar lewat internet. Kebetulan juga pingin mencoba layanan Agoda.com yang sangat terkenal itu. Setelah melihat-lihat gambarnya di internet, kami memesan sebuah kamar seharga 25 USD di District 1, tapi bukan di Pham Ngu Lau. Tidak jauh dari Pham Ngu Lau sih, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, untuk ke daerah Pham Ngu Lau maupun ke tempat-tempat wisata yang saya sebutkan tadi.
Namun, masalah dengan memesan online adalah, kita tidak dapat mengetahui apakah hotelnya baru atau tidak. Gambar-gambar di website tentu saja bagus. Hal ini pernah saya alami juga dengan Yogyes.com, di mana aslinya tidak seindah gambarnya. Kamarnya agak tua dan agak berbau apek. Tapi tidak apa-apa. Cukuplah untuk memberi kami perlindungan pada malam itu. Setelah itu malam kedua dan ketiga kami menginap di kota lain, dan pada malam terakhir ketika menginap di Saigon kami pun menemukan sebuah kamar yang bahkan lebih baik (karena baru) dengan harga 10 USD saja.
So, apa yang bisa dilihat di Ho Chi Minh City?
Seperti yang pernah aku tuliskan dua tahun yang lalu, ternyata memang benar tidak ada yang menarik untuk dikunjungi di kota ini. Pada waktu itu kami hanya transit di kota ini untuk melanjutkan perjalanan ke Kamboja (Cambodia), yaitu ke Phnom Penh dan Siam Reap (tempat Angkor Wat berada). (baca: Petualangan Bhramp-moi : Penang – Bangkok – Hanoi – Saigon – Phnom Penh - Siem Reap – Singapore) Tidak sedikit orang yang seperti kami (orang yang datang ke kota ini hanya untuk transit ke tempat lain). Tetapi mungkin orang-orang masih punya waktu minimal satu hari untuk explore kota ini. Waktu itu kami hanya punya waktu dua jam kalau gak salah (sambil menunggu bis), karena itu sama sekali tidak ke mana-mana. Dalam trip kali inilah saya berkesempatan mendatangi tempat-tempat wisata di Ho Chi Minh City, yang berakhir dengan kesimpulan: biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dengan kata lain, bila Anda tidak punya waktu, skip saja. Lanjut ke tempat wisata yang lain.
Saya ambil contoh. Misalkan, katedral Notre Dame-nya. Jauh lebih bagus katedral Jakarta. Gedung-gedung tua peninggalan Eropa masa lalu, juga banyak di daerah Cikini, seperti Gedung Juang dan sekitarnya. Ben Thanh market, ternyata sangat kecil, masih lebih besar pasar Bringharjo di Yogyakarta.
Sedikit catatan untuk katedral Notre Dame Saigon, ada yang istimewa dalam gereja ini. Di dalamnya terdapat tempat-tempat berdoa khusus buat santo dan santa tertentu, dan di setiap tempat itu banyak bata yang bertuliskan ucapan terima kasih dari masa lampau (mulai dari tahun 1920). Dugaan saya itu adalah ucapan terima kasih dan bentuk donor kepada gereja dari orang-orang yang doanya telah dikabulkan santo/santa itu. Bila Anda Katolik, bolehlah menyempatkan diri menghadiri misa di gereja ini. Ada misa khusus foreigner setiap hari minggu jam 09.00.
Kembali ke Pham Ngu Lau, di sini berserakan travel agent. Mau ke mana pun gampang. Tidak sulit sebenarnya untuk bepergian/menjelajah kota-kota di Vietnam dan negara-negara di sekitarnya (Indochina). Semua dapat ditempuh dengan bis (yang nyaman) dan dapat dibeli di daerah Pham Ngu Lau ini.
Karena kami tiba di Ho Chi Minh City sudah hampir pukul 9 malam, otomatis hari pertama tidak ke mana-mana. Malam keluar mencari makan tetapi hujan deras. Hujan turun setiap hari dalam trip kami kali ini. Keesokan harinya kami berkeliling beberapa object wisata di District 1 tadi, dan mencari tour. Mengenai tempat-tempat yang saya sebutkan di atas, silakan di-Google saja, bahkan di Google image, sudah banyak sekali fotonya. Vietnam sudah sangat advanced dalam hal ini, mungkin dari indicator jumlah hasil pencarian ini bisa dibilang tourism mereka cukup maju. Karena ini berarti sudah banyak sekali orang yang berkunjung dan memasangkan foto-foto serta video mereka, dan juga cerita mereka, kepada dunia.
Ho Chi Minh City Tour biasanya berarti mengunjungi tempat-tempat yang saya sebutkan tadi, ditambah ada museum lain, dan juga yang paling terkenal adalah Chu Chi Tunnel. Nah untuk yang ini, tidak sempat kami kunjungi, karena tournya berangkat pagi, kami lebih memilih untuk mengikuti misa di gereja katedral. Daripada memasuki terowongan yang sering disebut lubang tikus itu. Tempat ini adalah persembunyian tentara Vietnam pada perang Vietnam.
Nah, bicara soal perang Vietnam yang terkenal itu. Perang ini baru berakhir tahun 1976, berarti belum lama Vietnam masuk masa damai. Dan mereka juga belum lama membuka diri dalam perdagangan internasional (terinspirasi oleh China). Menyaksikan kecepatan mereka maju, rasanya mengerikan juga. Bisa-bisa Indonesia segera disalib. Saat ini mereka sudah punya semacam Silicon Valley di Ho Chi Minh City, pendidikan IT diperhatikan dengan baik dan sudah menjadi salah satu pilihan outsourcing IT di Asia. Beberapa pengusaha Indonesia juga membuka pabrik di Vietnam, seorang konglomerat Indonesia juga membangun real estate. Barangkali cukup prospektif untuk bisnis? Entahlah. Perlu dieksplore lebih lanjut.
Belum lagi pariwisata mereka yang kelihatannya maju pesat. Meski orang-orangnya belum siap, kecepatan kemajuan mereka cukup menakutkan. Mereka menaruh perhatian serius pada internet, para travel agent sadar benar pentingnya internet untuk bisnis mereka. Salah satu travel agent yang banyak direkomendasikan di dunia maya adalah Sinh Café. Saat ini Sinh Café sangat besar, kantornya diperluas, cabangnya ada di banyak kota dan mereka juga memiliki sendiri resort di kota-kota tujuan wisata utama.
Getting Around Ho Chi Minh City
Ada beberapa moda transportasi di kota yang penuh motor ini, yaitu taksi, bis kota, ojek motor, dan becak. Transportasi yang paling aman dan disarankan di brosur-brosur pariwisata adalah taksi. Bis kota tidak disarankan kepada orang asing, entah kenapa. Disebutkan di brosur bahwa bis kota hanya cocok untuk orang lokal saja. Dugaan kami karena masalah keamanan. Demikian pula bila naik moda transportasi yang lain, di kota ini, harus selalu waspada. Untuk ojek motor dan becak, hati-hati, pastikan harganya dengan baik sebelum naik. Kalau perlu ditulis, karena lafal bahasa Inggris orang Vietnam yang merancukan, bisa menjadi modus operandi sebuah penipuan.
Dibanding naik motor atau becak, taksi juga jauh lebih aman, karena tingkat kecelakaan di kota ini sangat tinggi. Seorang tour operator bercerita, terjadi 20 kecelakaan lalu lintas per hari di Ho Chi Minh City. Masih kalah dengan Delhi, India, yang katanya mencapai 60 per hari. (Di Jakarta sih, kalau dilihat data kecelakaan di salah satu tol dalam kota sekitar 167 kecelakan per bulan).
Di Ho Chi Minh City tidak semua perempatan ada lampu merahnya, selain itu banyak sekali bundaran di tengah perempatan, sehingga kendaraan bisa datang dari segala penjuru. Motor dan mobil tidak ada belas kasihan terhadap pejalan kaki, mereka sering tidak memperlambat laju kendaraannya. Itulah sebabnya, suara klakson selalu terdengar. Tanpa klakson kayaknya sebuah kendaraan tidak akan survive di kota ini. Saya saja sudah menyaksikan dua kali tabrakan, yang satu cukup mengenaskan. Orangnya terbaring kaku di jalan, sementara bis kami mengerem mendadak hingga sandal saya terlempar jauh ke baris depan. Cukup mengerikan.
Teman saya berkomentar, pergi ke Vietnam rasanya seperti pulang kampung. Ya, Jakarta jauh lebih besar dan metropolis. Apalagi di Vietnam banyak yang mengenakan topi caping hahaha, semakin menambah suasana pedesaan kan?
Kopi Vietnam, Pho, Roti Perancis
Di Ho Chi Minh City jangan lupa mencoba kopi Vietnam yang strong itu. Bisa dicoba dalam berbagai versi, versi kaki lima (6.000-7.000 VND per gelas), atau versi café (35.000 VND per gelas). VND = Vietnam Dong, mata uang Vietnam. O ya, beli apa pun di sana, mintalah dengan Vietnam Dong, karena akan lebih murah bila dikurs ke USD. Di sana hampir semua penjual menerima US Dollar. Sampai penjual kaki lima sekali pun. Saat ini nilai tukar 1 USD = 18.000 VND, sepertinya nilai tukar mereka terus menurun. Dua tahun lalu sekitar 15.000, ketika sebelum pergi aku browsing, masih 17.000. Lah gimana enggak turun terus, wong masyarakatnya semua prefer dibayar dengan US Dollar? Nah di sinilah saya merasa bangga dengan rupiah, apalagi belakangan ini rupiah makin perkasa saja…
Setelah kopi Vietnam, yang perlu dicoba tentu saja adalah pho (mie Vietnam itu). Gerai yang terkenal adalah Pho2000, yang katanya pernah dikunjungi Bill Clinton. Kami datang ke sana, tempatnya biasa-biasa saja, tidak seperti gerai Pho2000 di Senayan City yang glamor. Harganya pun lebih terjangkau. Beef Noodle 33.000 VND. Sekitar 20.000 rupiah gitu lah. Selain pho “branded” tentu saja harus dicoba juga pho warung yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan dan menjadi makanan sehari-hari orang sana.
Roti Perancis (baguette) yang panjang dan keras (kayak pentungan itu) juga menjadi makanan sehari-hari mereka. Sama seperti yang lain, yang ini juga ada versi kaki lima dan versi café-nya. Keduanya layak untuk dicoba.
Selain makanan, kalau ada waktu bisa juga mampir ke Saigon Square, di sini terkenal sebagai tempat belanja tas murah. Tempatnya tidak jauh dari Ben Thanh market. Mintalah peta di bandara atau pun di hotel. Peta seperti itulah yang menjadi modal kami dalam perjalanan.
Mengakhiri tulisan yang panjang ini---sorry kalau bahasanya berantakan---mungkin dapat diambil kesimpulan, dan inilah yang saya katakan apabila ditanya “Gimana Ho Chi Minh City?” bahwa, Ho Chi Minh City sebagai kota pusat perekonomian di Vietnam (ibukota Vietnam adalah Hanoi, tapi kota terbesar adalah Ho Chi Minh City) hanya layak dikunjungi sebagai kota transit atau mungkin dapat di-explore untuk kemungkinan bisnis. Silakan bagi Anda yang berminat.
Jalan yang penuh dengan motor dan bunyi klakson yang tiada henti, adalah dua hal yang paling dominan tentang Ho Chi Minh City, sebuah kota yang dulu bernama Saigon. Sampai saat ini nama Saigon masih banyak digunakan untuk menyebut kota terbesar di Vietnam ini, terutama untuk merujuk pada daerah pusat kotanya yaitu di district 1.
District 1 adalah tempat yang dulu bernama Saigon itu, yang setelah bergabung dengan beberapa daerah di sekitarnya maka berganti nama menjadi Ho Chi Minh City. Lebih jelas tentang sejarahnya mungkin dapat dibaca saja di Wikipedia, yang jelas, hal ini menjelaskan mengapa District 1 menjadi pusat kota HCMC, serta menjadi tempat berkumpulnya objek-objek wisata kota Ho Chi Minh City.
Kalau sudah tinggal di District 1, mau ke mana-mana saja dekat. Pusat bisnisnya di sana, pusat wisata juga di sana. Katedral Notre Dame peninggalan Perancis, kantor pos tua (yang mirip Stasiun kereta Beos), Opera House yang bergaya Perancis (tiang depannya yang melengkung dari jauh mirip Arch de Triomph), Reunification Palace, War Remnants Museum, dan Ben Thanh Market. Semuanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari pusat kota.
Di district 1 ini ada sebuah backpacker area yang sangat terkenal yaitu jalan Pham Ngu Lao. Meski Anda bukan backpacker, rasanya saya akan tetap menyarankan untuk mencari penginapan di sini saja. Karena daerahnya enak, khas backpacker area, selalu hidup 24 jam, full music, full bar, banyak tourist dari berbagai negara, daerah yang selalu ramai, dan yang penting, harga penginapannya sangat terjangkau. Cobalah menyusuri gang-gang di jalan itu, dengan mudahnya dapat ditemukan tulisan Room for Rent. Dengan harga 5 US Dollar (kipas angin) dan 10 US Dollar (AC) per malam.
Saya dapat kamar yang 10 USD, lumayan lho kamarnya, bisa bertiga pula. Pada malam pertama tiba di Ho Chi Minh City, demi kenyamanan dan keamanan kami telah memesan satu kamar lewat internet. Kebetulan juga pingin mencoba layanan Agoda.com yang sangat terkenal itu. Setelah melihat-lihat gambarnya di internet, kami memesan sebuah kamar seharga 25 USD di District 1, tapi bukan di Pham Ngu Lau. Tidak jauh dari Pham Ngu Lau sih, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, untuk ke daerah Pham Ngu Lau maupun ke tempat-tempat wisata yang saya sebutkan tadi.
Namun, masalah dengan memesan online adalah, kita tidak dapat mengetahui apakah hotelnya baru atau tidak. Gambar-gambar di website tentu saja bagus. Hal ini pernah saya alami juga dengan Yogyes.com, di mana aslinya tidak seindah gambarnya. Kamarnya agak tua dan agak berbau apek. Tapi tidak apa-apa. Cukuplah untuk memberi kami perlindungan pada malam itu. Setelah itu malam kedua dan ketiga kami menginap di kota lain, dan pada malam terakhir ketika menginap di Saigon kami pun menemukan sebuah kamar yang bahkan lebih baik (karena baru) dengan harga 10 USD saja.
So, apa yang bisa dilihat di Ho Chi Minh City?
Seperti yang pernah aku tuliskan dua tahun yang lalu, ternyata memang benar tidak ada yang menarik untuk dikunjungi di kota ini. Pada waktu itu kami hanya transit di kota ini untuk melanjutkan perjalanan ke Kamboja (Cambodia), yaitu ke Phnom Penh dan Siam Reap (tempat Angkor Wat berada). (baca: Petualangan Bhramp-moi : Penang – Bangkok – Hanoi – Saigon – Phnom Penh - Siem Reap – Singapore) Tidak sedikit orang yang seperti kami (orang yang datang ke kota ini hanya untuk transit ke tempat lain). Tetapi mungkin orang-orang masih punya waktu minimal satu hari untuk explore kota ini. Waktu itu kami hanya punya waktu dua jam kalau gak salah (sambil menunggu bis), karena itu sama sekali tidak ke mana-mana. Dalam trip kali inilah saya berkesempatan mendatangi tempat-tempat wisata di Ho Chi Minh City, yang berakhir dengan kesimpulan: biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dengan kata lain, bila Anda tidak punya waktu, skip saja. Lanjut ke tempat wisata yang lain.
Saya ambil contoh. Misalkan, katedral Notre Dame-nya. Jauh lebih bagus katedral Jakarta. Gedung-gedung tua peninggalan Eropa masa lalu, juga banyak di daerah Cikini, seperti Gedung Juang dan sekitarnya. Ben Thanh market, ternyata sangat kecil, masih lebih besar pasar Bringharjo di Yogyakarta.
Sedikit catatan untuk katedral Notre Dame Saigon, ada yang istimewa dalam gereja ini. Di dalamnya terdapat tempat-tempat berdoa khusus buat santo dan santa tertentu, dan di setiap tempat itu banyak bata yang bertuliskan ucapan terima kasih dari masa lampau (mulai dari tahun 1920). Dugaan saya itu adalah ucapan terima kasih dan bentuk donor kepada gereja dari orang-orang yang doanya telah dikabulkan santo/santa itu. Bila Anda Katolik, bolehlah menyempatkan diri menghadiri misa di gereja ini. Ada misa khusus foreigner setiap hari minggu jam 09.00.
Kembali ke Pham Ngu Lau, di sini berserakan travel agent. Mau ke mana pun gampang. Tidak sulit sebenarnya untuk bepergian/menjelajah kota-kota di Vietnam dan negara-negara di sekitarnya (Indochina). Semua dapat ditempuh dengan bis (yang nyaman) dan dapat dibeli di daerah Pham Ngu Lau ini.
Karena kami tiba di Ho Chi Minh City sudah hampir pukul 9 malam, otomatis hari pertama tidak ke mana-mana. Malam keluar mencari makan tetapi hujan deras. Hujan turun setiap hari dalam trip kami kali ini. Keesokan harinya kami berkeliling beberapa object wisata di District 1 tadi, dan mencari tour. Mengenai tempat-tempat yang saya sebutkan di atas, silakan di-Google saja, bahkan di Google image, sudah banyak sekali fotonya. Vietnam sudah sangat advanced dalam hal ini, mungkin dari indicator jumlah hasil pencarian ini bisa dibilang tourism mereka cukup maju. Karena ini berarti sudah banyak sekali orang yang berkunjung dan memasangkan foto-foto serta video mereka, dan juga cerita mereka, kepada dunia.
Ho Chi Minh City Tour biasanya berarti mengunjungi tempat-tempat yang saya sebutkan tadi, ditambah ada museum lain, dan juga yang paling terkenal adalah Chu Chi Tunnel. Nah untuk yang ini, tidak sempat kami kunjungi, karena tournya berangkat pagi, kami lebih memilih untuk mengikuti misa di gereja katedral. Daripada memasuki terowongan yang sering disebut lubang tikus itu. Tempat ini adalah persembunyian tentara Vietnam pada perang Vietnam.
Nah, bicara soal perang Vietnam yang terkenal itu. Perang ini baru berakhir tahun 1976, berarti belum lama Vietnam masuk masa damai. Dan mereka juga belum lama membuka diri dalam perdagangan internasional (terinspirasi oleh China). Menyaksikan kecepatan mereka maju, rasanya mengerikan juga. Bisa-bisa Indonesia segera disalib. Saat ini mereka sudah punya semacam Silicon Valley di Ho Chi Minh City, pendidikan IT diperhatikan dengan baik dan sudah menjadi salah satu pilihan outsourcing IT di Asia. Beberapa pengusaha Indonesia juga membuka pabrik di Vietnam, seorang konglomerat Indonesia juga membangun real estate. Barangkali cukup prospektif untuk bisnis? Entahlah. Perlu dieksplore lebih lanjut.
Belum lagi pariwisata mereka yang kelihatannya maju pesat. Meski orang-orangnya belum siap, kecepatan kemajuan mereka cukup menakutkan. Mereka menaruh perhatian serius pada internet, para travel agent sadar benar pentingnya internet untuk bisnis mereka. Salah satu travel agent yang banyak direkomendasikan di dunia maya adalah Sinh Café. Saat ini Sinh Café sangat besar, kantornya diperluas, cabangnya ada di banyak kota dan mereka juga memiliki sendiri resort di kota-kota tujuan wisata utama.
Getting Around Ho Chi Minh City
Ada beberapa moda transportasi di kota yang penuh motor ini, yaitu taksi, bis kota, ojek motor, dan becak. Transportasi yang paling aman dan disarankan di brosur-brosur pariwisata adalah taksi. Bis kota tidak disarankan kepada orang asing, entah kenapa. Disebutkan di brosur bahwa bis kota hanya cocok untuk orang lokal saja. Dugaan kami karena masalah keamanan. Demikian pula bila naik moda transportasi yang lain, di kota ini, harus selalu waspada. Untuk ojek motor dan becak, hati-hati, pastikan harganya dengan baik sebelum naik. Kalau perlu ditulis, karena lafal bahasa Inggris orang Vietnam yang merancukan, bisa menjadi modus operandi sebuah penipuan.
Dibanding naik motor atau becak, taksi juga jauh lebih aman, karena tingkat kecelakaan di kota ini sangat tinggi. Seorang tour operator bercerita, terjadi 20 kecelakaan lalu lintas per hari di Ho Chi Minh City. Masih kalah dengan Delhi, India, yang katanya mencapai 60 per hari. (Di Jakarta sih, kalau dilihat data kecelakaan di salah satu tol dalam kota sekitar 167 kecelakan per bulan).
Di Ho Chi Minh City tidak semua perempatan ada lampu merahnya, selain itu banyak sekali bundaran di tengah perempatan, sehingga kendaraan bisa datang dari segala penjuru. Motor dan mobil tidak ada belas kasihan terhadap pejalan kaki, mereka sering tidak memperlambat laju kendaraannya. Itulah sebabnya, suara klakson selalu terdengar. Tanpa klakson kayaknya sebuah kendaraan tidak akan survive di kota ini. Saya saja sudah menyaksikan dua kali tabrakan, yang satu cukup mengenaskan. Orangnya terbaring kaku di jalan, sementara bis kami mengerem mendadak hingga sandal saya terlempar jauh ke baris depan. Cukup mengerikan.
Teman saya berkomentar, pergi ke Vietnam rasanya seperti pulang kampung. Ya, Jakarta jauh lebih besar dan metropolis. Apalagi di Vietnam banyak yang mengenakan topi caping hahaha, semakin menambah suasana pedesaan kan?
Kopi Vietnam, Pho, Roti Perancis
Di Ho Chi Minh City jangan lupa mencoba kopi Vietnam yang strong itu. Bisa dicoba dalam berbagai versi, versi kaki lima (6.000-7.000 VND per gelas), atau versi café (35.000 VND per gelas). VND = Vietnam Dong, mata uang Vietnam. O ya, beli apa pun di sana, mintalah dengan Vietnam Dong, karena akan lebih murah bila dikurs ke USD. Di sana hampir semua penjual menerima US Dollar. Sampai penjual kaki lima sekali pun. Saat ini nilai tukar 1 USD = 18.000 VND, sepertinya nilai tukar mereka terus menurun. Dua tahun lalu sekitar 15.000, ketika sebelum pergi aku browsing, masih 17.000. Lah gimana enggak turun terus, wong masyarakatnya semua prefer dibayar dengan US Dollar? Nah di sinilah saya merasa bangga dengan rupiah, apalagi belakangan ini rupiah makin perkasa saja…
Setelah kopi Vietnam, yang perlu dicoba tentu saja adalah pho (mie Vietnam itu). Gerai yang terkenal adalah Pho2000, yang katanya pernah dikunjungi Bill Clinton. Kami datang ke sana, tempatnya biasa-biasa saja, tidak seperti gerai Pho2000 di Senayan City yang glamor. Harganya pun lebih terjangkau. Beef Noodle 33.000 VND. Sekitar 20.000 rupiah gitu lah. Selain pho “branded” tentu saja harus dicoba juga pho warung yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan dan menjadi makanan sehari-hari orang sana.
Roti Perancis (baguette) yang panjang dan keras (kayak pentungan itu) juga menjadi makanan sehari-hari mereka. Sama seperti yang lain, yang ini juga ada versi kaki lima dan versi café-nya. Keduanya layak untuk dicoba.
Selain makanan, kalau ada waktu bisa juga mampir ke Saigon Square, di sini terkenal sebagai tempat belanja tas murah. Tempatnya tidak jauh dari Ben Thanh market. Mintalah peta di bandara atau pun di hotel. Peta seperti itulah yang menjadi modal kami dalam perjalanan.
Mengakhiri tulisan yang panjang ini---sorry kalau bahasanya berantakan---mungkin dapat diambil kesimpulan, dan inilah yang saya katakan apabila ditanya “Gimana Ho Chi Minh City?” bahwa, Ho Chi Minh City sebagai kota pusat perekonomian di Vietnam (ibukota Vietnam adalah Hanoi, tapi kota terbesar adalah Ho Chi Minh City) hanya layak dikunjungi sebagai kota transit atau mungkin dapat di-explore untuk kemungkinan bisnis. Silakan bagi Anda yang berminat.
saya akan ke vietnam (HCMC) bisa minta info hotel2 yg di tempati yang murah2 itu? maap backpacker juga niy..
ReplyDeleteterus sptnya sama saya akan malam sesampai di VN, dari bandara masih ada bus ato pake taxi ke District 1-nya? Tx
Penginapan kami di Pham Ngu Lao ada di de tham street, seberang kantor Sinh cafe, cari saja gang di situ, banyak rumah2 penduduk, ruko, bertuliskan room for rent.
ReplyDeleteWaktu kami tiba di airport tidak terlihat ada bus. Banyak yg tawarin taxi, tapi sebaiknya tanya dulu harganya. Waktu tiba kami pakai taksi dari SGA (saigon airport) kalau ga salah, ada boothnya di airport. Tarip 8 usd. Ketika pulang, dari downtown area nyegat taxi vinasun pake argo jadinya 90.000 VND, lbh murah. Mudah2an membantu. Met travelling!
ah.. cukup menarik Ho chi Minh City... mgkin mb mei kunjungannya kurang lengkap kali.. cu chi tunnel seruu lho, dinner di atas cruise juga very romantic.. trs pertunjukan puppet show nya sgt menarik.. well mgkin mb mei kurang explore lebih jauh aja kali yah..
ReplyDeletetx
@bunbun iya betul juga. Soalnya waktu saya juga cuman sedikit di HCMC, dengan waktu yang sedikit itu kalau saya bandingkan dengan kota2 lain, memang terasa HCMC biasa-biasa saja.. hihihi...
ReplyDelete