100 Hari
Tanggal 2 Januari 2003. Hari ini genap seratus hari sudah adik kami meninggalkan kami; menuju suatu tempat yang tak pernah dikunjungi siapa pun di dunia ini.
Aku sedang berada di luar kota, kira-kira seribu kilometer dari Jakarta. Karena alasan tertentu, aku tidak bisa hadir dalam acara peringatan seratus hari tersebut. Sebagai gantinya aku menghabiskan malam menonton film Brave Heart yang diputar SCTV. Aku sedih tidak bisa berdoa bersama keluargaku dan mendengarkan khotbah pastur yang memberi kekuatan kepada kami. Maka sambil menonton film berdurasi hampir tiga jam itu pun aku terus mengingat adikku.
Aku teringat pada saat-saat kematiannya yang tidak pernah kami ketahui. Aku teringat pada saat-saat sejak dia berpamitan keluar rumah; lalu dia tidak pulang dan kami mencarinya ke mana-mana; hingga sebuah tubuh yang diyakini sebagai jasadnya ditemukan.
Tidak. Aku tidak sepenuhnya mengingat. Sebagian hanya bisa kubayangkan saja.
Sudah seratus hari kami masih tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu. Terlalu banyak urusan yang menyibukkan polisi: bom Bali, bom Makasar, berbagai kasus kriminalitas lain yang bermunculan setiap hari, dan yang terakhir demo yang dipicu oleh kenaikan harga BBM, listrik, dan tarif telepon.
Terlalu banyak urusan yang menyibukkan keluarga: pemakaman, pindah rumah, perusahaan yang baru berdiri, dan pernikahan kakak, dan juga penyesuaian diri terhadap kehilangan yang paling menyita waktu dan tenaga.
Orangnya pun telah tiada, tidak ada gunanya lagi mencari tahu siapa yang menyebabkannya, demikian filosofi kami.
Dan kami pun hanya bisa membayangkan.
Aku membayangkan adikku yang pemberani: yang tidak dengan mudah menyerahkan sesuatu yang menjadi hak miliknya; yang memperjuangkan sesuatu yang sangat disayanginya, suatu pemberian tanda cinta ayahnya. Adikku melawan, karena dia tidak ingin orang lain memaksakan kehendak atas dirinya; bahkan sampai titik darah penghabisannya.
Mungkin juga dia dipaksa melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsipnya; karena di tubuhnya ditemukan zat narkotika yang masih baru, dan menurut teman-teman dekatnya dia tidak memakai obat terlarang itu. Yang jelas, pelakunya beberapa orang, dan kami sangat yakin, adik kami tidak bodoh.
Tetapi pada akhirnya aku hanya bisa menyimpulkan, mungkin memang sudah saatnya dia berpulang ke penciptanya. Hanya itu satu-satunya jawaban yang bisa diterima.
* * *
Suatu hari ayah bercerita, bahwa belakangan ini dia jadi rajin pergi ke gereja, di kota kecil kami Belinyu, yang berada di pulau Bangka. Malah ibu yang lebih malas pergi ke gereja. Aku terkejut, karena biasanya yang terjadi adalah kebalikannya. Aku lantas bertanya.
"Mengapa, ma? Kok jadi malas ke gereja? Kan bisa mendoakan Adek di gereja?"
"Mama sudah foi sim," jawab ibu.
"Foi sim?" tanyaku.
Foi sim artinya putus asa," kata ayah. "Kenapa kok foi sim? Seperti kata pastor, anak itu hanya titipan Tuhan; kapan-kapan Dia mau ambil, dia tinggal ambil."
"Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa ya Tuhan begitu kejam; kok melihat dia dibunuh begitu saja dan Tuhan tidak berbuat apa-apa? Begitu teganya..." kata ibu lagi.
"Lho... Tuhan kan juga melihat sendiri Yesus disiksa dan akhirnya disalibkan. Mengapa Dia tidak menolong, padahal itu anak-Nya sendiri? Kalau Dia mau menolong kan bisa saja, tetapi semua harus berjalan sesuai rencana-Nya," kata ayah.
Ibu pun terdiam. Kami meneruskan obrolan, hingga membicarakan sebuah goa Maria yang baru dibangun di Belinyu. Ibu bercerita tentang seorang bapak berusia lima puluh tahun yang meninggal tidak lama setelah dia membaktikan hidupnya untuk menjaga Goa Maria itu.
"Goa Maria itu kok malah membawa sial ya," kata ibu.
"Itu tergantung cara pandang. Kalau kau melihat dari kaca mata duniawi, kematian adalah kesialan, tetapi kalau dilihat dari kaca mata yang lain, kematian mungkin adalah suatu keberuntungan. Orang Budha menganggap kematian adalah akhir penderitaan," kata ayah.
Adikku yang kedua, Abot, menimpali. "Ketika Yesus disiksa dan harus memanggul salibnya, banyak perempuan yang menangis melihatnya. Tetapi Yesus malah bilang, 'Jangan meratap seperti orang bodoh.'"
Orang bodoh melihat dengan kaca mata duniawi; orang bijaksana melihat dengan kaca mata surgawi.
* * *
Malam itu setelah selesai menonton Brave Heart aku berdoa sebelum tidur. Tiba-tiba aku tahu apa yang harus kudoakan. Selama ini aku telah berdoa setiap malam dan setiap aku sempat datang ke makam adik, dan aku meminta, "Tuhan, ajarilah aku berdoa."
Malam itu tiba-tiba saja kalimat-kalimat doaku mengalir dengan lancar: aku berdoa untuk keluargaku yang berkabung; aku berdoa agar kami bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang kami alami; dan tiba-tiba saja aku menyadari apa yang harus kami lakukan setelah kehilangan yang luar biasa ini: menghargai apa yang masih ada.
Lalu aku pun menangis. Aku tidak bisa menahan isak tangis meski itu akan mengganggu teman-teman yang tidur sekamar denganku. Aku tidak bisa lagi menahan emosi. Sedih bercampur haru.
"Maaf," kataku sambil berusaha menghentikan tangisanku, karena teman-teman rupanya terbangun. Setelah tenang kembali, kami semua pun tertidur.
Hari Minggunya setelah pulang ke Jakarta aku mengikuti misa di gereja bersama ayah, ibu, dan Abot. Sungguh sebuah ironi, ketika Adek masih hidup kami tidak pernah pergi ke gereja sekeluarga, dan Adek adalah yang paling rajin pergi ke gereja di antara kami. Mungkin ini pemandangan yang ingin disaksikan Adek, tetapi dia harus mati untuk mendapatkannya.
Dia membuat kami semua berubah. Dia membuat kami melihat sendiri betapa hidup dan mati ada di tangan Tuhan; betapa sia-sia manusia mengejar hal-hal duniawi dan melupakan hal-hal yang paling penting, seperti: kebersamaan.
Kini pergi ke gereja sekeluarga menjadi acara yang sering kami lakukan dan kami hargai sepenuh hati. Begitu juga makan bersama sekeluarga. Kadang-kadang tidak melakukan apa-apa. Hanya bersama. Karena kini kami tahu bagaimana menghargai apa yang masih ada. Karena betapa semua yang kita miliki tidak benar-benar kita miliki; semua adalah anugerah Tuhan yang perlu benar-benar kita nikmati dan syukuri, karena suatu saat semua akan diambil kembali dari kita.
Seratus hari sudah. Selamat jalan, adik yang sangat kami sayangi. Selamat jalan, adik yang sangat kami banggakan. Setelah ini kami tidak ingin bersedih lagi, tetapi kau akan selalu ada di hati kami.
Comments
Post a Comment