Crazy Ho Chi Minh City and The Strong Coffee



Kalau kamu banyak melihat foto seorang bapak tua berjenggot di mana-mana, di poster-poster di jalan, di toko-toko souvenir, di kaos-kaos, bahkan di duit yang ada di dompetmu, maka berarti kamu sedang berada di Vietnam. Dan bapak tua itu adalah Ho Chi Minh, pahlawan dan orang paling berpengaruh sepanjang sejarah Vietnam sehingga sebuah kota yang dulu menjadi ibukota Vietnam Selatan dan bernama Saigon, kini berganti nama menjadi Ho Chi Minh City (HCMC).

Ga Sai Gon (stasiun kereta api Saigon) adalah pemberhentian terakhir dari perjalanan panjang kami di kereta. Hari ini sudah Rabu pagi jam 09.00 (Kami berangkat hari Senin malam pukul 23.00). Kalau dilihat dari bahasanya, aku sangat yakin Ga itu diambil dari bahaa Perancis le gare yang berarti stasiun kereta. Bahasa Vietnam sangat dipengaruhi oleh dua pengaruh besar itu, yaitu French dan Chinese. Ada juga beberapa kata yang sangat mirip bahasa Chinese.

Kota HCMC adalah kota paling sibuk di Vietnam. Di sinilah pusat perdagangan negara yang ekonominya sedang berkembang pesat itu. HCMC juga kota yang paling berisik dan hingar-bingar yang pernah aku kunjungi. Benar kata si Happy Budha, di sini jumlah motornya bahkan lebih banyak. Swarming like bees. Dan lalu lintasnya bahkan lebih gila. Motor berseliweran bagai tanpa aturan. Klakson dari kendaraan-kendaraan itu memainkan musik jalanan yang harus bisa kamu nikmati untuk menyukai kota ini. Jika kamu suka kehidupan yang semarak, kota ini mungkin bisa bikin kamu bergairah.

Dari stasiun kereta kami langsung minta diantar ke Pha Ngu Lao Street (by taxi), tempat kami bisa menumpang bis ke Phnom Penh. Di jalan itu ternyata banyak berderetan kantor-kantor tour agent yang menyediakan bis ke Cambodia, mostly ke Phnom Penh, tapi ada juga yang langsung ke Siem Reap. Bukan rahasia lagi, tujuan orang-orang berwisata ke Cambodia, ke mana lagi kalau bukan ke Angkor Wat yang terletak di Siem Reap.

Karena memesan tiket bus pukul 11.30, maka kami hanya punya waktu kurang dari dua jam untuk berputar-putar di kota HCMC. Di sekitar Pha Ngu Lao St saja aku sudah merasa cukup, karena area itu ternyata memang area backpacker, banyak hotel backpack dan juga toko-toko souvenir yang menarik. Di pinggir jalan kita juga bisa membeli kopi Vietnam yang sangat terkenal itu.

Aku dan teman-teman lalu mulai sibuk di toko-toko itu. Tanpa terasa waktunya sudah tiba untuk naik bis. Karena membeli tiketnya pada last minute, maka tempat duduk yang kami dapat pun terpisah-pisah. Aku kebetulan duduk di sebelah seorang nice gentlement yang ternyata adalah seorang pebisnis dari Malaysia.

Karena belum sempat mengeksplor kota yang penuh gairah ini, aku pun bertanya-tanya pada si mister di sebelahku. Menurut dia, tempat kami berada tadi itulah adalah downtown HCMC. Selain itu juga tidak terlalu banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi. Jadi tidak banyak yang terlewat oleh kita meski hanya 2 jam ngubek-ngubek toko sepanjang Pha Ngu Lao St.

Si mister itu setiap bulan selalu datang ke Saigon dan Phnom Penh. Dia memasok sabun mandi dan produk kecantikan lainnya ke pasar kedua negara itu. Pasar yang tidak mudah dimasuki ini harus ditanganinya langsung, tidak bisa diwakili stafnya. Aku juga menggunakan kesempatan untuk menanyakan tempat yang bisa kami kunjungi di Phnom Penh malam itu. Kami akan tiba di PP malam sekitar pukul 19.00, dan harus menginap satu malam sebelum naik bis pagi-pagi menuju Siem Reap.

Tidak banyak yang bisa dikunjungi di PP juga katanya. Apalagi pada waktu malam. Soalnya di kota itu banyak tempat yang gelap di waktu malam, sehingga tidak aman bepergian. Sambil mengobrol aku teringat, sudah berapa lama aku tidak mandi. Wah bagaimana bauku ya? Pantas saja dia agak surprise waktu aku cerita tentang pekerjaan kami di Jakarta. Hahahahaha...

Ketika aku bilang ”it’s crazy” untuk menggambarkan traffic di HCMC, si mister itu malah bilang ”it’s better than Jakarta.” Aku protes, tetapi setelah dijelaskan, bener juga sih. ”In Jakarta, it’s not moving,” katanya. Bener juga sih ...

There are some moment di mana aku mulai merasa sentimentil. Terutama dalam perjalanan-perjalanan yang panjang ini. Kereta 32 jam, dilanjutkan dengan bus 6 jam. Besok lanjut lagi 6 jam lagi hingga kita mencapai Siem Reap. Tiba-tiba aku teringat sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris, ”The world is like a book. If you don’t travel, you only read a page.”

Dengan perjalanan ini aku merasa bagaikan hanya mencoba memenuhi buku itu. Karena kami tidak sempat lama di satu tempat, di beberapa kota hanya lewat saja, maka rasanya hanya bagaikan memenuhi halaman-halaman dalam buku itu. Kurasa mungkin buku itu adalah paspor kita yang jadi banyak capnya. Hahahaha.

Next: Angkor What?

Comments

Popular Posts