Got Sick in Singapore, Home Sweet Home Batam



Kami tiba di Singapore tanggal 24 Agustus pagi sekitar pukul 10.00 dengan penerbangan Jet Star Asia dari Siem Reap. Penerbangan itu kalau gak salah tidak sampai 2 jam. Jet Star adalah penerbangan murah, sama seperti Air Asia, tidak disediakan makanan. Kita harus beli (memesan dari menu yang tersedia seperti kopi instan, pop mie dll).

Bila banyak detail yang tidak gw ingat, yang gw ingat adalah begitu sampai Singapore, gw langsung jatuh sakit. Mungkin karena saking boring-nya kota itu, mungkin juga karena memang sudah saatnya sakit.

Lho?

Soalnya emang agak mengherankan dengan jadwal perjalanan yang panjang, sering kurang tidur dan kurang makan, kok gw gak sakit ya. Kalau di Jakarta, pasti gw udah sakit. Tapi emang fakta menunjukkan, tiap kali travelling gw sehat banget. Selama perjalanan, dokter pribadi gw SMS, bertanya, masuk angin gak? karena dia tahu gw gampang masuk angin. Enggak tuh, kata gw. Kalau travelling gw sehat banget. Apalagi kalau ke desa-desa yang eksotis. Begitu sampai kota, eh langsung sakit. Dasar orang desa.

Malam itu di Singapore kami ingin bersenang-senang. "Gw mau makan enak," kata salah seorang teman kami yang langsung disambut dengan setuju dari dasar hati yang paling dalam. Karena itu, kami pun mencari sebuah pasar malam yang terkenal di Singapore menurut brosur wisata, dekat Chinatown.

Gw makan kepiting saos Singapore (bukan saos padang) dan kepiting lada hitam dan minum bir Tiger dingin yang menyegarkan. Setelah berjalan sangat jauh (hampir separo Singapore, menurut Renny) akhirnya kami menjamu diri kami dengan makanan mewah. Kayaknya itu adalah dinner termahal kami deh.. Sekitar 100-an ribu rupiah per orang.

Tapi puas banget. Gw langsung sehat. Waktu gw sakit-sakitan di Batam sambil menunggu flight Air Asia yang telat, Renny langsung bilang, sayang di sini gak ada bir ya. Pasti sehat deh Mei kalau dikasih bir. Hehehe...

Singapore yang membosankan (apalagi setelah kamu habis dari tempat-tempat eksotis seperti Thai, Vietnam dan Cambodia) ternyata menyimpan suatu kejutan yang menyenangkan. Mampirlah di any kopi tiam (toko kopi, dari bahasa Hakka) di pinggir-pinggir jalan di Singapore. I bet you'll have a nice hot coffee khas Singapore, yang bersusu dan juga masih berbusa ketika panas. (Seperti teh tarik)

Kopi seperti ini harus diminum di warung tradisional, bukan di cafe-cafe di mal, dengan ditemani prata atau martabak India yang panas-panas. Kopi ini harus dibuat secara tradisional, dengan saringan-saringannya, bukan dengan mesin. Bisa juga ditemani kaya panggang (roti dengan selai kelapa dan telur), yang merupakan hidangan khas sarapan di sana. Di Jakarta ada sih Yakun Kaya Toast di Plaza EX, tapi ternyata kopinya tidak seenak aslinya di Singapore.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di Singapore untuk kita kaum pas-pasan pada saat Orchard Road tidak lagi musim sale. Berbeda dengan banyak orang Indonesia yang bisa dengan gampang kamu temui di Singapore, kami tidak punya uang untuk naik taksi, apalagi belanja di Singapore. Nginapnya pun di hotel backpack yang sulit dipercaya ada di kota megapolit seperti Singapore. Hotel kami harganya Rp 400.000 per night, kamarnya sempit, sekitar 2 x 3 dengan kamar mandi yang isinya hanya satu shower dan hanya muat untuk satu orang berdiri (tidak ada toilet). Untung masih ada AC.

Menjadi gembel di Singapore itu tidak enak. Kami semua memutuskan, tidak akan ke Singapore lagi kecuali dibayarin kantor.

Home Sweet Home Batam


Karena tidak betah dengan kegembelan itu, maka besoknya kami langsung bertolak ke Batam. Tinggal nyebrang (40 menit), betapa mudahnya. Betapa dekatnya. Banyak pula dermaga di Batam, tidak hanya satu. Singapore-Batam, ternyata sangat, sangat mudah. Tiket ferry hanya 95.000 rupiah.

Tetapi, begitu memasuki Batam, terasa bagaikan memasuki dunia yang sangat berbeda. Dunia ketiga. Bagi kami, terasa bagai pulang ke rumah. Di mana ATM BCA berserakan dan mudah ditemui. Di mana kami sudah bisa bermewah-mewahan di hotel dengan harga Rp 300.000. Kami telah pulang ke rumah.

Dan kami pun kembali menjadi cewek-cewek kosmopolit yang menjerit melihat tas-tas branded seperti Elle dijual dengan harga miring di sana. Tidak hanya tas, parfum-parfum dan jam bermerek, semua harganya lebih miring daripada di Jakarta. Namun, tetap saja bagi gw agak mahal. Karena duit dah abis syihhh...

Akhirnya, tulisan berseri Petualangan Bramp moi gw akhiri di sini. Bagi yang baru menemukan blog ini, gw akan bikin link-nya berurut dari depan (di tulisan gw berikutnya). Thanks for reading my story.

Comments

  1. Anonymous7:02 PM

    Two thumbs up for you and your team. Three thumbs up for the story, really inspirated. And the last four thumbs up for you who can wrote this long story. Nice. Really nice.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts