Menjadi Hua Ren
Selain tissue basah, kalkulator, buku Lonely Planet, dan sun block, ternyata bahasa Mandarin juga adalah salah satu hal yang surprisingly sangat membantu dalam perjalanan ini. Di negara-negara Indochina yang gw kunjungi, yaitu Vietnam dan Cambodia, ternyata cukup mudah ditemui orang-orang keturunan China. Dan untungnya juga gw cukup gampang dikenali sebagai Hua ren (orang China).
Di Hanoi, gw ditegor seorang pria berwajah Chinese. Langsung dengan bahasa Mandarin. Untung aja gw bisa jawab. Meskipun bahasa Mandarin yang gw kuasai mungkin hanya sekitar 20% dari total bahasa lisan Mandarin, tetapi ternyata 20% itu cukup untuk percakapan basa-basi dengan orang yang baru kita kenal. Pria itu ternyata seorang engineer China, bekerja di Huawei Telecom, yang sedang ditugaskan di Hanoi. Dari situlah orang-orang hotel pun tahu bahwa aku bisa diajak berbahasa Mandarin. Mulai deh dari sana bisa ngobrol lebih akrab dengan bahasa yang lebih biasa mereka gunakan daripada bahasa Inggris.
Gw tanya kepada pegawai hotel itu, di mana kamu belajar mandarin? Dia agak aneh dengan pertanyaan gw. ”Wo shi hua ren,” katanya. Saya orang China kok, maksudnya. Ya bisa lah bahasa mandarin. Oh iya ya... ternyata gw aja yang aneh. Orang China tapi tidak bisa berbahasa China. Kayaknya di Singapore, Malaysia, Vietnam, Cambodia, orang-orang keturunan China otomatis bisa berbahasa China karena bahasa tersebut digunakan di rumahnya dan juga mereka sekolah bahasa China.
Di Singapore, begitu melihat wajah gw, orang-orang langsung dengan otomatis mengajak berbahasa Mandarin lho. Singapore memang kayaknya gak punya bahasa nasional kali ya, English ok, Chinese ok, Melayu ok, India juga ok. Budayanya pun campur-campur.
Itulah kenapa gw sangat bersyukur sempat belajar Mandarin, meskipun hanya setahun, dan di Taipei pula (bukan di China yang lebih banyak terpakai). Minimal sebagai seorang hua ren gw bisa masuk dalam pergaulan sesama hua ren di dunia internasional. Anak-anak hua qiao (peranakan China) yang besar di era Soeharto seperti gw memang kurang menguntungkan dari sisi ini. Ini bagi gw bukan masalah nasionalisme, tapi masalah skill bahasa yang disayangkan hehehe. Anak-anak sekarang sudah bisa belajar bahasa Mandarin di sekolah. Gw sering lihat anak-anak hua qiao berbahasa Mandarin dengan orangtuanya. Mungkin some day kita akan seperti di Singapore kali ya...
Selain tissue basah, kalkulator, buku Lonely Planet, dan sun block, ternyata bahasa Mandarin juga adalah salah satu hal yang surprisingly sangat membantu dalam perjalanan ini. Di negara-negara Indochina yang gw kunjungi, yaitu Vietnam dan Cambodia, ternyata cukup mudah ditemui orang-orang keturunan China. Dan untungnya juga gw cukup gampang dikenali sebagai Hua ren (orang China).
Di Hanoi, gw ditegor seorang pria berwajah Chinese. Langsung dengan bahasa Mandarin. Untung aja gw bisa jawab. Meskipun bahasa Mandarin yang gw kuasai mungkin hanya sekitar 20% dari total bahasa lisan Mandarin, tetapi ternyata 20% itu cukup untuk percakapan basa-basi dengan orang yang baru kita kenal. Pria itu ternyata seorang engineer China, bekerja di Huawei Telecom, yang sedang ditugaskan di Hanoi. Dari situlah orang-orang hotel pun tahu bahwa aku bisa diajak berbahasa Mandarin. Mulai deh dari sana bisa ngobrol lebih akrab dengan bahasa yang lebih biasa mereka gunakan daripada bahasa Inggris.
Gw tanya kepada pegawai hotel itu, di mana kamu belajar mandarin? Dia agak aneh dengan pertanyaan gw. ”Wo shi hua ren,” katanya. Saya orang China kok, maksudnya. Ya bisa lah bahasa mandarin. Oh iya ya... ternyata gw aja yang aneh. Orang China tapi tidak bisa berbahasa China. Kayaknya di Singapore, Malaysia, Vietnam, Cambodia, orang-orang keturunan China otomatis bisa berbahasa China karena bahasa tersebut digunakan di rumahnya dan juga mereka sekolah bahasa China.
Di Singapore, begitu melihat wajah gw, orang-orang langsung dengan otomatis mengajak berbahasa Mandarin lho. Singapore memang kayaknya gak punya bahasa nasional kali ya, English ok, Chinese ok, Melayu ok, India juga ok. Budayanya pun campur-campur.
Itulah kenapa gw sangat bersyukur sempat belajar Mandarin, meskipun hanya setahun, dan di Taipei pula (bukan di China yang lebih banyak terpakai). Minimal sebagai seorang hua ren gw bisa masuk dalam pergaulan sesama hua ren di dunia internasional. Anak-anak hua qiao (peranakan China) yang besar di era Soeharto seperti gw memang kurang menguntungkan dari sisi ini. Ini bagi gw bukan masalah nasionalisme, tapi masalah skill bahasa yang disayangkan hehehe. Anak-anak sekarang sudah bisa belajar bahasa Mandarin di sekolah. Gw sering lihat anak-anak hua qiao berbahasa Mandarin dengan orangtuanya. Mungkin some day kita akan seperti di Singapore kali ya...
Comments
Post a Comment